Senin, 02 Mei 2011

                         OTONOMI DAERAH

           Pada UU No 32 Tahun 2004 dituliskan mengenai otonomi daerah dimana secara general dapat disimpulkan daerah mengatur sendiri kehidupan rumah tangganya,namun tetap akan ada intervensi dari pemerintah yang dalam bidang-bidang tertentu yang dianggap harus pemerintahlah yang mengatur hal tersebut.
            Pemerintah belum sepenuh hati memberikan otonomi daerah seluas-luasnya kepada daerah yang dibuktikan dengan pasal 7 (1) UU No. 22 tahun 1999, yang menyatakan bahwa: ”kewenangan daerah mencangkup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanaan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain
            Masalah lain yang diangkat penulis adalah kebijakan otonomi daerah belum sepenuhnya berhasil di banyak daerah ini disebabkan banyak hal,antara lain karena penyelenggara pemerintahan daerah yang dianggap kurang berkualitas, otonomi di daerah yang dijadikan lahan proyek kepentingan golongan,penataan ruang yang berantakan sehingga dari awal sulit untuk dikoordinir, ditambah lagi bupati yang telah lebih banyak memiliki  wewenang daripada gubernur sebagai jabatan tertinggi di provinsi secara struktural. dijadikan lahan distribusi proyek oleh raja raja kecil yang kewenangannya di daerah menjadi lebih besar daripada gubernur sendiri,dimana memang sudah dibagi-bagikan kepada tiap pemimpin kabupaten/kota yang berada di bawah naungannya.
            Hal tersebut membenarkan kasus-kasus yang real terjadi di negara Indonesia ini, banyaknya para raja di daerah, yang sedang maupun sudah selesai menjabat terkena kasus korupsi yang sangat merugikan negara.Ditambah lagi ketika diadakan rapat koordinasi oleh gubernur untuk mengkoordinasikan kebijakan di kabupaten/kota dengan kebijakan provinsi ,banyak bupati/walikota yang mengabaikannya karena sudah menganggap kewenangannya lebih besar sehingga menimbulkan dampak yang tidak baik,yaitu kebijakan di daerah yang tidak saling bersinergi.
           
            Namun, otonomi daerah yang ada hendaknya hanya diberikan dan diberlakukan kepada daerah setingkat provinsi atau gubernur dan kota-kota tertentu yang mampu membiayai dirinya sendiri.Menurut Saya ini sudah tidak sinkron lagi dengan UU kebijakan otonomi daerah itu sendiri yang memberikan kewenangan kepada tingkat daerah mengatur daerahnya sendiri.Ditambah lagi,bila gubernur memiliki kewenangan yang besar di sebuah wilayah provinsi, maka justru akan terjadi korupsi yang lebih besar lagi karena bisa saja lahan proyeknya semakin besar dengan berkoordinasi kepada para bupati dan walikota.Ini dibenarkan juga oleh penulis dimana dituliskan nantinya itu tak dapat dipungkiri akan menimbulkan gejolak sosial.
            Berdasarkan dari pengamatan Saya, dengan fokus pada pelaksanaan kebijakan otonomi daerah sejak reformasi dan ditinjau dari Model Edward III mengenai imlementasi yang menyangkut aspek Komunikasi,Sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi
            Bila dari segi komunikasi, menurut Edward (dalam Agustino,2006:149-153) implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan –tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan dan disampaikan tepat sasaran kepada sasaran kebijakan.Komunikasi yang terjadi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat terjadi secara berkesinambungan.Setiap daerah dalam waktu yang ditentukan akan mengadakan laporan evaluasi kepada pemerintah pusat terhadap hasil kinerja yang dijalankan selama ini.Koordinasi yang dilakukan terjadi secara berkesinambungan.Namun,pada rapat koordinasi tersebut,masih diyakinkan belum tepat sasaran karena kurangnya sistem evaluasi yang belum benar-benar serius karena memang dari pemerintah pusat sendiripun belum menerapkan komunikasi yang baik dengan daerah mengingat masalah –masalah di pusat maupun daerah ynag begitu kompleks.Ini menyebabkan ketika terjadi komunikasi, banyak hal-hal yang tertinggal tanpa bahasan yang jelas.
            Dari sisi sumberdaya.Bila kita perhatikan,banyak sekali pimpinan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan terhambat kasus korupsi yang dilakukannya sendiri.Padahal inilah inti dalam kemajuan daerah dan negara.
            Bagaimana mungkin otonomi daerah dapat berjalan dengan baik apabila dari segi sumberdaya tidak ditentukan kriteria yang benar-benar layak untuk memimpin.Dalam UU No

32 Tahun 2004 tidak ditetapkan bagaimana kriteria yang jelas penetapan calon perangkat daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat.Sehingga sampai saat inipun,dapat kita lihat banyak perangkat daerah yang masih menjabat jabatan baru sementar sudah pernah terlibat kasus korupsi.Sumberdaya ini dapat semakin menyebabkan sumberdaya yang lain,seperti kekayaan alam di daerah tersebut dan dana yang telah turun dari pusat maupun PAD dari daerah sendiri tidak dapat dikelola dengan baik dan transparan.
            Kemudian dari sisi disposisi atau sikap pelaksana sendiri,masih belum benar-benar punya sikap yang bertanggungjawab terhadap amanah besar yang ditugaskan kepadanya.Dan dari segi struktur birokrasi,yaitu pola hubungan dan tanggungjawab dalam pelaksanaan suatu kebijakan dalam ini kebijakan otonomi daerah .
            Dari keterangan sisi sumberdaya di atas dapat kita langsung amati bahwa pemerintah pusat belum membuat suatu hubungan melalui rapat kerja yang benar-benar efektif dan efisien dengan tidak hanya mengahbiskan uang rakyat dan waktu dengan rapat yang hanya sebatas rapat saja ,hanya untuk menyelesaikan jadwal harian.
            Namun , meskipun otonomi di banyak daerah masih dalam tahapan kurang berhasil,pemerintah pusat maupun daerah dapat belajar dari daerah-daerah yang berhasil melakukan otonomi.Kebanyakan mereka berhasil karena program,visi dan misi, sesuai dengan potensi  dan kemampuan daerah itu sendiri dalam pencapaiannya sehingga tidak terkesan mencontoh dan memaksakan suatu keberhasilan...@mata kuliah otonomi daerah..
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar